sumber : https://id.wikipedia.org
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka[9] adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3–COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat pekat (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16,7°C. Cuka mengandung 3–9% volume asam asetat, menjadikannya asam asetat adalah komponen utama cuka selain air. Asam asetat berasa asam dan berbau menyengat. Selain diproduksi untuk cuka konsumsi rumah tangga, asam asetat juga diproduksi sebagai prekursor untuk polivinil asetat dan selulosa asetat. Meskipun digolongkan sebagai asam lemah, asam asetat pekat bersifat korosif dan dapat menyerang kulit.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO–. Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat, dengan kode aditif makanan E260, digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Sebagai aditif makanan, asam asetat disetujui penggunaannya di banyak negara, termasuk Kanada[10], Uni Eropa[11], Amerika Serikat[12], Australia dan Selandia Baru[13].
Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1,5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia.[14] Sebagai pereaksi kimia, sumber hayati cukup menarik, tetapi tidak kompetitif. Cuka adalah asam asetat encer, seringkali diproduksi melalui fermentasi dan oksidasi lanjutan etanol.
Tata Nama
Asam asetat merupakan nama trivial atau nama dagang dari senyawa ini, dan merupakan nama yang paling dianjurkan oleh IUPAC. Nama ini berasal dari kata bahasa Latin: acetum, yang berarti cuka. Nama sistematis dari senyawa ini adalah asam etanoat.[15]
Asam asetat glasial merupakan nama trivial yang merujuk pada asam asetat yang bebas-air (anhidrat). Disebut demikian karena asam asetat bebas-air membentuk kristal mirip es pada 16,6 °C (61,9 °F), pada suhu sedikit di bawah suhu ruang.[16]
Singkatan yang paling sering digunakan, dan merupakat singkatan resmi bagi asam asetat adalah AcOH atau HOAc di mana Ac berarti gugus asetil, CH3–C(=O)–. Asetat (CH3COO−) disingkat sebagai AcO−. Ac jangan disalahartikan dengan lambang unsur aktinium (Ac).[17] Untuk mendapatkan gambaran struktur yang lebih baik, asam asetat seringkali ditulis sebagai CH3–C(O)OH, CH3–C(=O)OH, CH3COOH, dan CH3CO2H. Dalam konteks reaksi asam-basa, singatan HAc sering digunakan,[18] dengan Ac merupakan singkatan dari asetat. Asetat adalah ion yang dihasilkan dari lepasnya H+ dari asam asetat. Nama asetat dapat pula merujuk pada garam yang mengandung anion ini, atau suatu ester dari asam asetat.[19]
Sejarah
Cuka telah dikenal manusia sejak dahulu kala. Cuka dihasilkan oleh berbagai bakteria penghasil asam asetat, dan asam asetat merupakan hasil samping dari pembuatan bir atau anggur.
Penggunaan asam asetat sebagai pereaksi kimia juga sudah dimulai sejak lama. Pada abat ke-3 Sebelum Masehi, Filsuf Yunani kuno Theophrastos menjelaskan bahwa cuka bereaksi dengan logam-logam membentuk berbagai zat warna, misalnya timbal putih (timbal karbonat), dan verdigris, yaitu suatu zat hijau campuran dari garam-garam tembaga dan mengandung tembaga (II) asetat. Bangsa Romawi menghasilkan sapa, sebuah sirup yang amat manis, dengan mendidihkan anggur yang sudah asam. Sapa mengandung timbal asetat, suatu zat manis yang disebut juga gula timbal dan gula Saturnus. Akhirnya hal ini berlanjut kepada peracunan dengan timbal yang dilakukan oleh para pejabat Romawi.[20]
Pada abad ke-8, ilmuwan Persia Jabir ibn Hayyan menghasilkan asam asetat pekat dari cuka melalui distilasi. Pada masa renaisans, asam asetat glasial dihasilkan dari distilasi kering logam asetat. Pada abad ke-16 ahli alkimia Jerman Andreas Libavius menjelaskan prosedur tersebut, dan membandingkan asam asetat glasial yang dihasilkan terhadap cuka. Ternyata asam asetat glasial memiliki banyak perbedaan sifat dengan larutan asam asetat dalam air, sehingga banyak ahli kimia yang mempercayai bahwa keduanya sebenarnya adalah dua zat yang berbeda. Ahli kimia Prancis Pierre Adet akhirnya membuktikan bahwa kedua zat ini sebenarnya sama.[20][21]
Pada 1847 kimiawan Jerman Hermann Kolbe mensintesis asam asetat dari zat anorganik untuk pertama kalinya. Reaksi kimia yang dilakukan adalah klorinasi karbon disulfida menjadi karbon tetraklorida, diikuti dengan pirolisis menjadi tetrakloroetilena dan klorinasi dalam air menjadi asam trikloroasetat, dan akhirnya reduksi elektrolisis menjadi asam asetat.[22]
Sejak 1910 kebanyakan asam asetat dihasilkan dari cairan piroligneous yang diperoleh dari distilasi kayu. Cairan ini direaksikan dengan kalsium hidroksida menghasilkan kalsium asetat yang kemudian diasamkan dengan asam sulfat menghasilkan asam asetat. Pada saat itu, Jerman memproduksi 10.000 ton asam asetat glasial, sekitar 30% dari yang digunakan untuk produksi zat warna indigo.[20][23]
Oleh karena baik metanol dan karbon monoksida merupakan bahan baku komoditas umum, karbonilasi metanol merupakan daya tarik tersendiri sebagai prekursor asam asetat. Henri Dreyfus di British Celanese mengembangkan cikal bakal pabrik karbonilasi metanol di awal tahun 1925.[24] Namun, kurangnya bahan praktis yang diperlukan dapat menampung campuran reaksi korosif pada tekanan tinggi (200 atm atau lebih) mematahkan komersialisasi proses ini. Proses karbonilasi metanol komersial pertama, menggunakan kobalt sebagai katalis, dikembangkan oleh perusahaan kimia Jerman BASF pada tahun 1963. Pada tahun 1968, katalis berbasis rodium (cis−[Rh(CO)2I2]−) ditemukan yang dapat beroperasi secara efisien pada tekanan rendah dengan hampir tanpa produk sampingan. Perusahaan kimia Amerika Serikat Monsanto Company membangun pabrik pertamanya menggunakan katalis ini pada tahun 1970, dan karbonilasi metanol dengan katalis rodium menjadi metode dominan pada produksi asam asetat (lihat proses Monsanto). Pada akhir 1990an, perusahaan kimia BP Chemicals mengkomersialkan katalis Cativa ([Ir(CO)2I2]−), dengan prekursor iridium[25] untuk efisiensi yang lebih besar. Proses Cativa berkatalis iridium lebih ramah lingkungan dan lebih efisien[26] dan telah menggantikan proses Monsanto.
Sifat-sifat kimia
Keasaman[sunting | sunting sumber]
Atom hidrogen (H) pada gugus karboksil (−COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat dilepaskan sebagai ion H+ (proton), melalui peroses ionisasi sebagai berikut:
\text{CH}_3\text{CO}_2\text{H} \longrightarrow \text{CH}_3\text{CO}_2^- + \text{H}^+
Oleh karena itu, asam asetat mempunyai sifat asam. Asam asetat adalah asam lemah monoprotik dengan nilai pKa=4,76.[27] Basa konjugasinya adalah asetat (CH3COO−). Basa konjugatnya adalah asetat (CH3COO−). Sebuah larutan 1.0 M asam asetat (kira-kira sama dengan konsentrasi pada cuka rumah) memiliki pH sekitar 2,4; menandakan bahwa sekitar 0,4% molekul asam asetat terdisosiasi.[n 1]
Acetic acid deprotonation.png
Struktur[sunting | sunting sumber]
Asam asetat padat menunjukkan bahwa molekul-molekul asam asetat berpasangan membentuk dimer yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen.[28] Dimer juga dapat dideteksi pada uap bersuhu 120 °C (248 °F). Dimer juga terjadi pada larutan encer di dalam pelarut tak-berikatan-hidrogen, dan kadang-kadang pada cairan asam asetat murni.[29] Dimer dirusak dengan adanya pelarut berikatan hidrogen (misalnya air). Entalpi disosiasi dimer tersebut diperkirakan 65,0–66,0 kJ/mol, entropi disosiasi sekitar 154–157 J mol−1 K−1.[30] Sifat dimerisasi ini juga dimiliki oleh asam karboksilat sederhana lainnya
Sifat pelarut
Asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam asetat memiliki konstanta dielektrik yang sedang yaitu 6,2; sehingga ia bisa melarutkan baik senyawa polar seperi garam anorganik dan gula maupun senyawa non-polar seperti minyak dan unsur-unsur seperti sulfur dan iodin. Asam asetat bercampur dengan mudah dengan pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air, kloroform dan heksana. Dengan alkana yang lebih tinggi (dimulai dari oktana), asam asetat tidak lagi bercampur sempurna, dan kebercampurannya terus menurun berbanding lurus dengan kenaikan rantai n-alkana.[32] Sifat kelarutan dan kemudahan bercampur dari asam asetat ini membuatnya digunakan secara luas dalam industri kimia, misalnya sebagai pelarut dalam produksi dimetil tereftalat.[14]
kimia organik
Asam asetat mengalami reaksi-reaksi asam karboksilat, misalnya menghasilkan garam asetat bila bereaksi dengan alkali, menghasilkan logam etanoat bila bereaksi dengan logam, dan menghasilkan logam etanoat, air dan karbondioksida bila bereaksi dengan garam karbonat atau bikarbonat. Dengan basa kuat (misalnya pereaksi organolitium), asam asetat mengalami deprotonasi menghasilkan LiCH2CO2Li. Reaksi organik yang paling terkenal dari asam asetat adalah pembentukan etanol melalui reduksi, pembentukan turunan asam karboksilat seperti asetil klorida atau anhidrida asetat melalui substitusi nukleofilik. Anhidrida asetat dibentuk melalui kondensasi dua molekul asam asetat. Ester dari asam asetat dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi Fischer, dan juga pembentukan amida. Pada suhu 440 °C, asam asetat terurai menjadi metana dan karbon dioksida, atau ketena dan air.
sumber : https://id.wikipedia.org