sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Istanbul_collage_5j.jpg
Istanbul (/ˌɪstænˈbuːl/ atau /ˌiːstɑːnˈbuːl/;[8][9] bahasa Turki: İstanbul [isˈtanbuɫ] ( simak)), yang mana dalam sejarah juga dikenal sebagai Konstantinopel dan Bizantium, adalah kota terpadat di Turki yang menjadi pusat perekonomian, budaya, dan sejarah negara tersebut. Istanbul merupakan kota lintas benua di Eurasia yang membentang melintasi Selat Bosporus di antara Laut Marmara dan Laut Hitam. Pusat perdagangan dan sejarahnya terletak di sisi Eropa, sementara sekitar sepertiga penduduknya tinggal di sisi Asia.[10] Kota ini merupakan pusat pemerintahan dari Munisipalitas Metropolitan Istanbul (berbatasan[11] dengan Provinsi Istanbul); keduanya memiliki keseluruhan populasi sekitar 14 juta penduduk.[4] Istanbul merupakan salah satu kota yang paling padat penduduknya di dunia, menempati peringkat 6 terbesar di dunia menurut populasi dalam batas kota, dan merupakan kota terbesar di Eropa.
Didirikan dengan nama Bizantium sekitar tahun 660 SM di sebuah tanjung kecil bernama Sarayburnu, kota ini berkembang sehingga menjadi salah satu kota terpenting dalam sejarah. Setelah pendiriannya kembali dengan nama Konstantinopel pada tahun 330 M, kota ini berfungsi sebagai ibu kota kekaisaran selama hampir 16 abad, yaitu selama Kekaisaran Romawi dan Bizantium atau Romawi Timur (330–1204 dan 1261–1453), Latin (1204–1261), dan Utsmaniyah atau Ottoman (1453–1922).[12] Kota ini berperan penting dalam perkembangan Kekristenan selama zaman Kekaisaran Romawi dan Bizantium sebelum Utsmaniyah menaklukkannya pada tahun 1453 dan mengubahnya menjadi kubu pertahanan Islam serta tempat kedudukan Kekhalifahan Utsmaniyah.[13]
Posisi strategis Istanbul di Jalur Sutera yang bersejarah,[14] jaringan-jaringan kereta menuju Eropa dan Timur Tengah, dan satu-satunya jalur laut antara Laut Hitam dan Mediterania, telah menghasilkan suatu populasi kosmopolitan meskipun agak berkurang sejak didirikannya Republik Turki pada tahun 1923. Setelah terabaikan karena adanya ibu kota baru selama periode antarperang, kota ini memperoleh kembali posisi pentingnya. Populasi kota bertambah sepuluh kali lipat sejak tahun 1950-an setelah para migran dari seluruh Anatolia pindah ke kota ini dan batas-batas kota diperluas demi menampung mereka.[15][16] Berbagai festival budaya, film, musik, dan seni diadakan pada akhir abad ke-20 dan tetap diselenggarakan oleh kota ini sampai sekarang, sementara perbaikan infrastruktur telah menghasilkan suatu jaringan transportasi yang kompleks.
Sekitar 12,56 juta turis asing berkunjung ke Istanbul pada tahun 2015, lima tahun setelah penetapannya sebagai suatu Ibukota Kebudayaan Eropa, yang mana menjadikan kota ini sebagai tujuan wisata paling populer kelima di dunia.[17] Atraksi utama kota ini adalah pusat sejarahnya, yang mana sebagian di antaranya terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO; pusat hiburan dan budayanya berada di sepanjang pelabuhan alami kota ini, yaitu Tanduk Emas, di Distrik Beyoğlu. Dipandang sebagai suatu kota global,[18] Istanbul memiliki salah satu perekonomian metropolitan dengan pertumbuhan tercepat di dunia.[19] Kota ini menjadi tempat berdirinya kantor pusat dari banyak perusahaan dan media massa Turki serta menyumbang lebih dari seperempat produk domestik bruto negara tersebut.[20] Untuk memanfaatkan revitalisasi dan ekspansinya yang cepat, Istanbul mengajukan diri sebagai penyelenggara Olimpiade Musim Panas sebanyak lima kali dalam waktu dua puluh tahun.[21]
Daftar isi [tampilkan]
Toponimi
Nama kota ini yang pertama kali diketahui adalah Bizantium (bahasa Yunani: Βυζάντιον, Byzántion; bahasa Inggris: Byzantium), nama tersebut diberikan pada saat pendiriannya oleh para pemukim di Megara sekitar tahun 660 SM.[1] Nama Bizantium diperkirakan berasal dari nama seseorang, yaitu Byzas. Tradisi Yunani Kuno merujuk pada seorang raja lengendaris dengan nama tersebut sebagai pemimpin dari orang-orang Yunani pendatang. Para ahli modern juga telah memperkirakan bahwa yang bernama Byzas ini adalah seorang Thrakia setempat atau berasal dari Iliria, dan karenanya telah ada sebelum pemukiman Megara tersebut.[22]
Setelah Konstantinus Agung menjadikannya sebagai ibu kota baru di wilayah timur Kekaisaran Romawi pada tahun 330 M, kota ini kemudian dikenal secara luas dengan nama Constantinopolis (Konstantinopel), yang mana—sama seperti bentuk Latin dari "Κωνσταντινούπολις" (Konstantinoúpolis)—berarti "Kota Konstantinus".[1] Ia juga berupaya mempromosikan nama Nova Roma dan versi Yunaninya, Νέα Ῥώμη" Nea Romē (Roma Baru), tetapi ini tidak digunakan secara luas.[23] Konstantinopel tetap merupakan nama yang paling umum digunakan di Barat untuk menyebut kota ini sampai berdirinya Republik Turki; Kostantiniyye (bahasa Turki Utsmaniyah: قسطنطينيه) dan İstanbul adalah nama-nama yang digunakan sebagai alternatif oleh Dinasti Utsmaniyah selama pemerintahan mereka.[24] Kini orang Turki menganggap penggunaan Konstantinopel untuk merujuk ke kota ini selama pemerintahan Utsmaniyah (dari pertengahan abad ke-15) tidaklah benar secara politis, kendati bukannya tidak akurat secara historis.[25]
Hingga abad ke-19, kota ini telah memperoleh nama-nama lain yang mana digunakan oleh orang asing ataupun orang Turki. Bangsa Eropa menggunakan Konstantinopel untuk merujuk pada keseluruhan kota ini, tetapi—sebagaimana juga orang Turki—menggunakan nama Stamboul untuk mendeskripsikan semenanjung berdinding antara Tanduk Emas dan Laut Marmara.[25] Pera (dari kata Yunani "Πέρα" yang berarti "di seberang" atau "di luar") dulu digunakan untuk mendeskripsikan daerah di antara Tanduk Emas dan Selat Bosporus, tetapi orang Turki juga menggunakan nama Beyoğlu (sekarang menjadi nama resmi salah satu distrik konstituen kota ini).[26] Dahulu Islambol (berarti "Kota Islam" atau "Penuh dengan Islam") terkadang digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk merujuk pada kota ini, dan bahkan terukir pada beberapa uang logam Utsmaniyah,[27] tetapi keyakinan bahwa nama tersebut adalah asal mula dari nama yang sekarang, İstanbul, disangkal oleh fakta yang menyatakan bahwa nama yang sekarang telah ada jauh sebelum nama Islambol dikenal dan bahkan sebelum penaklukan Utsmaniyah atas kota ini.[1]
Nama İstanbul (Pengucapan bahasa Turki: [isˈtanbuɫ] ( simak), bahasa sehari-hari: [ɯsˈtambuɫ]) pada umumnya dianggap berasal dari frase Yunani Abad Pertengahan "εἰς τὴν Πόλιν" (dilafalkan [is tim ˈbolin]), artinya "ke kota itu"[28] dan merupakan cara orang Yunani setempat menyebut Konstantinopel. Hal ini mencerminkan status kota tersebut sebagai satu-satunya kota besar di sekitarnya. Arti penting Konstantinopel dalam dunia Utsmaniyah juga tercermin dari nama 'Der Saadet' yang berarti 'gerbang menuju Kemakmuran' dalam bahasa Utsmaniyah. Ada suatu pandangan alternatif yang menyatakan bahwa nama tersebut berevolusi secara langsung dari nama Konstantinopel, dengan menghilangkan suku kata yang pertama dan ketiga.[1] Suatu etimologi rakyat Turki menelusuri nama tersebut kepada "banyak Islam" (Islam bol)[29] karena kota tersebut disebut Islambol ("banyak Islam") atau Islambul ("menemukan Islam") sebagai ibukota Kesultanan Utsmaniyah Islam. Ini ditegaskan pertama kali tak lama setelah penaklukannya, dan beberapa penulis pada zaman tersebut menganggap nama ini ditemukan oleh Sultan Mehmed II sendiri.[30] Beberapa sumber Utsmaniyah dari abad ke-17, seperti Evliya Çelebi, menggambarkannya sebagai nama Turki yang umum dari zaman itu; antara akhir abad ke-17 dan akhir abad ke-18, nama itu juga terdapat dalam penggunaan resmi. Penggunaan kata "Islambol" yang pertama kali pada uang logam adalah pada tahun 1703 (1115 H) selama masa pemerintahan Sultan Ahmed III. Bagaimanapun penggunaan nama Constantinople (Konstantinopel) masih umum dalam bahasa Inggris pada abad ke-20, Istanbul menjadi umum setelah Turki mengadaptasi abjad Latin pada tahun 1928 dan mendorong negara-negara lain untuk menggunakan nama Turki kota tersebut.[31][32] Kaum Viking berlayar menyusuri sungai-sungai di Rusia dari Laut Utara, lalu masuk ke Laut Hitam dan tiba di Konstantinopel sekitar abad ke-10. Mereka menyebut Konstantinopel dengan nama "Miklagard", [33] yang artinya "Kota Besar".
Dalam bahasa Turki modern, nama kota ini ditulis İstanbul dengan sebuah İ bertitik, karena alfabet Turki membuat perbedaan antara I bertitik dan tanpa titik. Dalam bahasa Inggris penekanannya adalah pada suku kata pertama (Is), tetapi dalam bahasa Turki pada suku kata kedua (tan).[34] Orang dari kota ini disebut sebagai seorang İstanbullu (jamak: İstanbullular), kendati Istanbulite digunakan dalam bahasa Inggris.[35]
Sejarah
Artefak-artefak Neolitikum yang ditemukan oleh para arkeolog pada awal abad ke-21 menunjukkan bahwa semenanjung bersejarah Istanbul telah dihuni setidaknya sejak milenium ke-7 SM.[36] Pemukiman awal ini, yang mana dipandang penting dalam penyebaran saat Revolusi Neolitik dari Timur Dekat ke Eropa, berlangsung selama hampir satu milenium sebelum dibanjiri oleh naiknya permukaan air.[37][38][39][40] Pemukiman manusia yang pertama di sisi Asia, yakni gundukan Fikirtepe, berasal dari periode Zaman tembaga yang mana artefak-artefaknya bertarikh 5500–3500 SM.[41] Di sisi Eropa, dekat ujung semenanjung tersebut (Sarayburnu), terdapat suatu pemukiman Thrakia selama awal milenium ke-1 SM. Para penulis modern menghubungkannya dengan toponim Thrakia Lygos,[42] yang mana disebutkan oleh Plinius yang Tua sebagai sebuah nama awal untuk situs Bizantium.[43]
Sejarah kota ini secara tepat dimulai sekitar tahun 660 SM,[44][a] yaitu ketika para pemukim Yunani dari Megara mendirikan Bizantium di sisi Eropa dari Selat Bosporus. Para pemukim itu membangun sebuah akropolis yang berdekatan dengan Tanduk Emas di situs pemukiman Thrakia awal mula, sehingga mendorong perekonomian kota yang baru lahir ini.[50] Kota itu mengalami masa singkat pemerintahan Persia pada pergantian abad ke-5 SM, tetapi bangsa Yunani merebutnya kembali selama Perang Yunani-Persia.[51] Bizantium kemudian berlanjut sebagai bagian dari Liga Athena dan penerusnya, Kekaisaran Athena Kedua, sebelum memperoleh kemerdekaan pada tahun 355 SM.[52] Karena telah lama menjalin aliansi dengan bangsa Romawi, Bizantium secara resmi menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi pada tahun 73 M.[53] Keputusan Bizantium untuk memihak Pescennius Niger, seorang perampas kuasa Romawi, untuk melawan Kaisar Septimius Severus membuatnya harus membayar mahal harganya; saat Bizantium menyerah pada tahun 195 M, pengepungan selama dua tahun telah meninggalkan kota itu dalam keadaan hancur.[54] Lima tahun kemudian Severus mulai membangun Bizantium lagi, dan kota itu memperoleh kembali—serta, menurut beberapa catatan, melampaui—kemakmuran yang sebelumnya.[55]
Kebangkitan dan kejatuhan Konstantinopel
Konstantinus Agung efektif menjadi kaisar dari keseluruhan Kekaisaran Romawi pada bulan September 324.[56] Dua bulan kemudian ia mengemukakan rencana pendirian suatu kota Kristen yang baru untuk menggantikan Bizantium. Sebagai ibukota bagian timur kekaisaran, kota tersebut diberi nama Nea Roma; kebanyakan menyebutnya Konstantinopel, suatu nama yang tetap digunakan sampai dengan abad ke-20.[57] Pada tanggal 11 Mei 330, Konstantinopel dinyatakan sebagai ibukota dari suatu kekaisaran yang kemudian dikenal sebagai Kekaisaran Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur.[58]
Pendirian Konstantinopel merupakan salah satu prestasi Konstantinus yang paling bertahan lama, yang mana mengalihkan kekuasaan Romawi ke sebelah timur karena kota tersebut menjadi suatu pusat Kekristenan dan kebudayaan Yunani.[58][59] Sejumlah besar bangunan gereja dibangun di seluruh kota, termasuk Hagia Sophia yang dibangun pada masa pemerintahan Yustinianus Agung dan menjadi katedral terbesar di dunia sampai dengan seribu tahun berikutnya.[60] Konstantinus juga melakukan perluasan dan renovasi besar atas Hipodrom Konstantinopel; dengan daya tampung puluhan ribu penonton, hipodrom tersebut menjadi pusat kehidupan masyarakat dan pada abad ke-5 juga abad ke-6 menjadi pusat berbagai peristiwa kerusuhan, misalnya Kerusuhan Nika.[61][62] Lokasi Konstantinopel juga memastikan keberadaannya yang mampu bertahan terhadap ujian waktu; dalam kurun waktu berabad-abad, daerah tepi laut dan temboknya melindungi Eropa terhadap para pasukan penyerang dari timur dan perkembangan Islam.[59] Selama hampir sepanjang Abad Pertengahan, yakni bagian terakhir era Bizantium, Konstantinopel merupakan kota terbesar dan terkaya di benua Eropa dan adakalanya yang terbesar di dunia.[63][64]
Konstantinopel mulai mengalami penurunan terus-menerus setelah akhir masa pemerintahan Basileios II pada tahun 1025. Pukulan terakhir dialami melalui penaklukan oleh Guillaume dari Villehardouin dan Enrico Dandolo pada tahun 1204 selama Perang Salib Keempat, di mana kota tersebut dirampok dan dijarah.[65] Kota tersebut selanjutnya menjadi pusat Kekaisaran Latin, ciptaan para tentara salib Katolik untuk menggantikan Kekaisaran Bizantium Ortodoks.[66] Agia Sophia diubah menjadi sebuah gereja Katolik pada tahun 1204. Konstantinopel direbut kembali pada tahun 1261 dan Kekaisaran Bizantium pulih sekalipun melemah.[67] Berbagai infrastruktur layanan dasar, pertahanan, dan bangunan gereja berada dalam keadaan rusak,[68] dan populasinya telah berkurang menjadi seratus ribu dari lima ratus ribu penduduk selama abad ke-8.[d] Setelah penaklukan kembali pada tahun 1261 itu, beberapa monumen kota dipulihkan, termasuk pembuatan 2 mosaik Deisis di Aghia Sofia dan Kariye.
Berbagai kebijakan militer dan ekonomi yang diterapkan oleh Andronikos II, misalnya pengurangan kekuatan militer, melemahkan kekaisaran tersebut dan membuatnya rentan terhadap serangan.[69] Pada pertengahan abad ke-14, bangsa Turki Utsmaniyah memulai suatu strategi dengan secara bertahap menguasai kota-kota yang lebih kecil, memutus jalur-jalur perbekalan dan secara perlahan membuatnya terdesak.[70] Pada tanggal 29 Mei 1453, setelah pengepungan selama 8 minggu (di mana saat itu kaisar Romawi yang terakhir, Konstantinus XI, terbunuh), Sultan Mehmed II "sang Penakluk" merebut Konstantinopel dan menyatakannya sebagai ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah atau Kekaisaran Ottoman. Beberapa jam kemudian sang sultan pergi ke Hagia Sophia dan memanggil seorang imam untuk menyatakan Syahadat Islam, serta mengubah katedral megah tersebut menjadi sebuah masjid kekaisaran karena penolakan kota itu untuk menyerah secara damai.[71] Mehmed menyatakan dirinya sebagai "Kaysar-i Rûm" yang baru (bahasa Turki Utsmaniyah yang berarti Kaisar Roma) dan negara Ottoman direorganisasi menjadi suatu kekaisaran.[72]
Era Utsmaniyah dan Turki
Setelah penaklukan Konstantinopel, Mehmed II segera melakukan pengaturan untuk merevitalisasi kota tersebut, yang mana sejak saat itu juga dikenal sebagai Istanbul. Ia mendorong kembalinya mereka yang telah melarikan diri dari kota selama pengepungan, memukimkan kembali kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen dari bagian lain Anatolia. Sang sultan mengundang orang dari seluruh Eropa ke ibukotanya, membentuk suatu masyarakat kosmopolitan yang bertahan hingga sebagian besar periode Utsmaniyah.[73] Mehmed II memperbaiki infrastruktur kota yang rusak, mulai membangun Grand Bazaar dan Istana Topkapı yang menjadi kediaman resmi sang sultan.[74] Dengan pemindahan ibukota dari Edirne (dulunya Adrianopel) ke Konstantinopel, negara barunya dinyatakan sebagai penerus dan kelanjutan dari Kekaisaran Romawi.[75]
Dinasti Utsmaniyah dengan cepat mentransformasi kota tersebut dari sebuah kubu pertahanan Kekristenan menjadi suatu simbol budaya Islam. Berbagai yayasan keagamaan didirikan untuk mendanai konstruksi masjid-masjid kekaisaran yang penuh ornamen, yang mana seringkali disatukan dengan sekolah, rumah sakit, dan pemandian umum.[74] Dinasti Utsmaniyah mengklaim status kekhalifahan pada tahun 1517 dan Istanbul tetap menjadi ibukota kekhalifahan terakhir ini selama empat abad berikutnya.[13] Masa pemerintahan Suleiman yang Luar Biasa dari tahun 1520 sampai 1566 merupakan suatu periode yang secara khusus memiliki prestasi arsitektural dan seni yang sangat besar; Mimar Sinan sebagai kepala arsitek merancang beberapa bangunan ikonik di kota tersebut seiring dengan perkembangan seni miniatur, kaligrafi, kaca patri, dan keramik Utsmaniyah.[76] Populasi Istanbul mencapai 570.000 penduduk pada akhir abad ke-18.[77]
Suatu periode pemberontakan pada awal abad ke-19 menyebabkan bangkitnya Sultan Mahmud II yang progresif dan akhirnya sampai pada periode Tanzimat, yang mana menghasilkan berbagai reformasi politik dan memungkinkan masuknya teknologi baru ke kota tersebut.[78] Jembatan-jembatan yang melintasi Tanduk Emas dibangun selama periode ini,[79] dan Istanbul terhubung dengan seluruh jaringan kereta api Eropa pada tahun 1880-an.[80] Fasilitas-fasilitas modern seperti jaringan persediaan air, listrik, telepon, dan trem, secara bertahap diperkenalkan ke Istanbul selama beberapa dekade berikutnya, kendati baru belakangan dibandingkan dengan kota-kota Eropa lainnya.[81] Upaya-upaya modernisasi ini tidak mampu mencegah terjadinya kemunduran Kesultanan Utsmaniyah.
Pada awal abad ke-20, Revolusi Turki Muda menyebabkan Sultan Abdul Hamid II turun takhta dan serangkaian peperangan melanda ibukota kesultanan yang sedang bermasalah itu.[82] Akhir dari semuanya ini, yakni Perang Dunia I, mengakibatkan terjadinya pendudukan Konstantinopel oleh bangsa Italia, Perancis, dan Britania. Populasi bangsa Armenia di kota tersebut juga terkena dampak oleh adanya deportasi kaum intelektual Armenia pada 24 April 1915, di mana para pemimpin masyarakat Armenia ditangkap dan sebagian besar dibunuh sebagai bagian dari peristiwa Genosida Armenia. Untuk memperingati para korban Genosida Armenia, tanggal 24 April kini menjadi hari peringatannya.[83] Sultan Utsmaniyah yang terakhir, yaitu Mehmed VI, diasingkan pada bulan November 1922; pada tahun berikutnya, pendudukan atas Konstantinopel berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Lausanne dan pengakuan terhadap Republik Turki yang dideklarasikan oleh Mustafa Kemal Atatürk.[84]
Pada tahun-tahun awal Republik Turki, Istanbul dikesampingkan demi keberpihakan terhadap Ankara yang terpilih sebagai ibukota republik untuk menjauhkan negara sekuler yang baru ini dari sejarah Utsmaniyah.[85] Sejak akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an, Istanbul mengalami perubahan struktural yang sangat besar; berbagai jalan pepohonan, bulevar, dan ruang terbuka publik yang baru dibangun di seluruh kota, terkadang dengan mengorbankan bangunan-bangunan bersejarah.[86] Populasi Istanbul mulai meningkat pesat pada tahun 1970-an karena kedatangan imigran dari Anatolia untuk mencari pekerjaan di banyak pabrik baru yang dibangun di pinggiran kota metropolitan yang luas ini. Kenaikan populasi kota secara tajam dan tiba-tiba menyebabkan banyaknya kebutuhan akan perumahan; banyak hutan dan desa terpencil yang kemudian berubah dan menyatu ke dalam wilayah metropolitan Istanbul.[87]
sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Istanbul